oleh

Berburu Tanda Tangan, Tradisi Ramadan yang Mulai Hilang

Ramadhan adalah hal yang ditunggu-tunggu bagi semua kalangan, tidak terkecuali anak kecil. Dulu, bagi saya, Ramadhan adalah waktu yang menyenangkan karena intensitas bertemu dengan teman-teman akan lebih banyak dikarenakan banyak kegiatan yang akan dilalui bersama seperti mengaji, buka bersama, hingga shalat tarawih. Dengan begitu, saya mempunyai waktu yang lebih banyak untuk bermain, bercengkrama, dan bercerita.

Maka, jika ditanya tentang tradisi Ramadhan yang paling melekat, maka ingatan saya akan terbang ke masa-masa itu. Lantas benar jika ada yang mengatakan bahwa selamanya kita akan merindukan masa kecil. Karena seperti kata Julian Barnes, “memories of childhood were the dreams that stayed with you after you woke.”

Salah satu kenangan masa kecil yang masih melekat ketika Ramadhan adalah berburu tanda tangan imam sehabis sholat tarawih. Ah, apakah ada yang pernah merasakannya juga? Pasti kalian tahu betapa serunya saat-saat itu.

Buku di atas merupakan buku sakral yang biasanya diberikan sekolah saat menjelang Ramadhan, dan akan dikumpulkan kembali setelah lebaran.
Dalam buku itu, berbagai tugas sudah disiapkan dengan detail. Mulai dari jadwal puasa, tadarus, sholat, hingga kolom untuk menulis ceramah dan tanda-tangan penceramah, yang terkadang juga bertugas sebagai imam. Kolom inilah yang membuat buku ini menjadi salah satu barang yang harus dibawa ketika berangkat tarawih.

Saya dan teman-teman biasanya berbagi tugas untuk menulis ceramah. Jujur saja, mendengarkan ceramah bagi anak kecil bukan hal yang mudah. Kita dipaksa harus fokus sekaligus mencerna dan menulis dengan cepat, sedangkan ceramah tetap terus berlanjut.

Merangkai kata demi kata sehingga menjadi kalimat ceramah yang nyambung, tentu tidak gampang. Tapi entah mengapa saya sangat antusias untuk mengerjakan hal tersebut, walaupun terkadang saya mencontek punya teman, begitu juga dengan mereka, supaya kolom ceramah tersebut terisi full. hehe..

Ketika shalat tarawih selesai, kami tidak langsung pulang, melainkan menunggui imam hingga selesai salam-salaman untuk “berburu” tanda tangan. Inilah kegiatan yang paling dirindukan ketika Ramadhan.

Ada rasa dag-dig-dug yang luar biasa saat imam mulai membaca hasil tulisan ceramah di kolom tersebut. Saya takut sekali, jika apa yang saya tulis ternyata berbeda dari apa yang dia bicarakan. Berbagai pikiran negatif pun melayang-layang di pikiran, “bagaimana kalau beliau menolak untuk tanda-tangan karena tulisan saya salah”, “bagaimana kalau dia suruh saya menulis ulang karena tulisan saya jelek”, dan lain sebagainya.

Alhamdulillah-nya prasangka-prasangka itu tidak pernah terwujud. Sang imam biasanya hanya melihat-lihat sebentar sebelum membubuhkan tanda tangan di sebelah kolom ceramah.

Berbagai kejadian itu terlintas hangat di pikiran saya. Seperti bolu yang baru diangkat dari panggangan, aromanya menyeruak, menebar kemana-mana. Saya seperti baru melakukannya, padahal rentang waktu kejadian itu sudah cukup lama.

Tradisi Ramadhan yang Mulai Hilang
Saya tidak tahu mengapa saat ini saya tidak lagi menemukan tradisi berburu tanda tangan ketika selesai tarawih. Anak-anak juga tidak terlihat mengisi buku kegiatan Ramadhan yang biasa diberikan sekolah. Atau memang sekolah tidak lagi memberikan buku tersebut?

Adik saya yang duduk di kelas 3 SD juga belum mendapatkannya. Entah sekolah yang tidak mengeluarkan, atau memang ia belum cukup umur untuk mengisinya.

Berbagai kegundahan melingkupi hati saya karena sangat disayangkan apabila tradisi ini benar-benar hilang. “Berburu” tanda tangan adalah cara yang efektif supaya anak-anak fokus terhadap ceramah yang sedang disampaikan imam. Walau beberapa dari mereka mungkin akan mencontek, setidaknya mereka tetap berusaha untuk menyalin dan sedikit banyak tahu apa makna yang terkandung dari ceramah tersebut.

Kebiasaan ini akan melatih otak anak untuk mencerna ucapan dan menulis dengan cepat, dimana hal tersebut akan sangat bermanfaat bagi kemampuan motoriknya ketika di sekolah.

Cara ini juga terbilang efektif untuk mencegah anak-anak hanya main pada saat ceramah. Hal ini akan meringankan tugas emak-emak untuk memperingati anak-anak yang berisik. Dengan begitu, ceramah dan tarawih akan dijalankan dengan lebih khusu.

Lebih dari itu, sebenarnya tradisi ini adalah momen indah yang akan dirindukan oleh mereka kelak ketika dewasa. Bukan begitu, Kompasianer?

Salam,Tutut Setyorinie, 9 Mei 2019.

Sumber : Kompasiana.com
Foto : ilustrasi berburu tanda tangan imam | www.idntimes.com

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.