Mengintip Jejak Suku Akit

suku akit
Mengintip Jejak Suku Akit

CELAHKOTANEWS.COM ,KEPULAUAN MERANTI – Menurut cerita orang tua-tua mereka, nenek moyang orang Akit berasal dan salah satu anak suku Akit yang menghuni daratan Asia Belakang. Karena suatu alasan mereka mengembara ke selatan, melewati Semenanjung Malaka. Keadaan telah memaksa mereka mengenal gelombang dan asinnya air laut, tetapi juga kebebasan bergerak di atas rakit dan sampan.

Dengan demikian mereka telah mulai mengembangkan kehidupan adaptif di perairan kepulauan Riau. Di Kabupaten Kepuluan Meranti, suku Akit dapat kita jumpai di sekitar pesisir Daeas Tenang, Tebing Tinggi Barat, dan di Desa Nerlang, Tebing Tinggi Timur.

Menelusuri suku Akit di Desa Nerlang, di sini terdapat sekitar 40 KK dengan jumlah penduduk mencapai 264 jiwa. Anak – anak mereka sebagian juga sudah mulai sekolah. Meski hanya ada 20 anak yang sekolah di SDN 20, namun secara perlahan suku Akit mulai hidup lebih maju, karena mereka sudah berbaur dengan dengan masyarakat lainnya.

Orang Akit menggantungkan kehidupannya kepada kegiatan berburu, menangkap ikan dan mengolah sagu. Mereka berburu babi hutan, kijang atau kancil dengan menggunakan sumpit bertombak, panah, dan kadangkala pakai perangkap. Teman setia mereka untuk perburuan macam itu adalah anjing.

Orang Akit memiliki adat kebiasaan bersunat yang sebenarnya sudah jauh sebelum agama Islam masuk. Prinsip garis keturunan mereka cenderung patrilineal. Selesai upacara perkawinan seorang istri segera dibawa oleh suaminya ke rumah mereka yang baru, atau menumpang sementara di rumah orang tua suami.

Pemimpin otoriter boleh dikatakan tidak kenal dalam Masyarakat Suku Akit sederhana ini, tetapi karena pengaruh kesultanan Siak masa dulu suku bangsa Akit mengenal juga pemimpin kelompok yang disebut batin. Orang Akit dikenal pemberani dan berbahaya sekali dengan senjata sumpit beracunnya.

Sehingga mereka diajak bekerja sama memerangi Belanda yang pada zaman itu sering menangkapi orang Akit untuk dijadikan budak. Mereka menyebut orang Melayu sebagai orang selam, maksudnya Islam. Sistem kepercayaan aslinya berorientasi kepada pemujaan roh nenek moyang. Pada masa sekarang sebagian orang Akit sudah memeluk agama Budha, terutama lewat perkawinan perempuan mereka dengan laki-laki keturunan Tionghoa.

Orang Akit mengenal tiga tahapan penting dalam kehidupan manusia: 1. Hamil dan melahirkan bayi, 2. Perkawinan,
3. Kematian.

Tahap-tahap tersebut dianggap sebagi puncak-puncak peristiwa dalam hidup tetapi juga sebagai tahap-tahap yang paling berbahaya. Untuk itu ada sejumlah upacara yang bertujuan agar dalam peristiwa-peritiwa penting tersebut si pelaku dan keluargannya serta Masyarakat Suku Akit tempatnya hidup dapat selamat dari segala bahaya.

Segala peristiwa penting yang menyangkut kehidupan manusia secara individual tersebut berlaku dalam kehidupan keluarga. Suatu keluarga Masyarakat suku Akit pada dasarnya adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak mereka.

Ada juga keluarga Masyarakat suku Akit yang luas, ditambah dengan salah satu orangtua istri atau suami, atau kemenakan yang menumpang sementara. Jumlah keluarga luas dalam Masyarakat Akit tidak banyak, karena keadaan seperti itu dianggap sebagai terkecualian untuk menolong orang jompo atau yang memerlukan pertolongan sementara.

Salah satu ciri Masyarakat suku Akit sebagaimana dilihat oleh orang Melayu adalah agama mereka bersifat animistik. Agama asli Masyarakat suku Akit memang berdasarkan kepercayaan pada berbagai mahluk halus, ruh, dan berbagai kekuatan gaib dalam alam semesta, khususnya dalam lingkungan hidup manusia mempunyai pengaruh terhadap kesejahteraan hidup mereka.

Masyarakat suku Akit dikenal oleh orang Melayu sebagai pembuat anyaman tikar dan rotan yang baik. Hal ini disebabkan karena sebagian besar peralatan yang mereka gunakan dibuat dengan cara mengikat dan menganyam. Mereka menganyam berbagai wadah untuk menyimpan dan mengangkut barang dari rotan, daun rumbia, daun kapau, dan kulit kayu. Di masa lampau mereka juga membuat pakaian dari kulit kayu yang dipukul sedemikian rupa sehingga menjadi tipis, halus serta kuat. Namun yang lebih unik lagi, dalam berbagai hal tersebut mereka tidak menggunakan paku sebagai pengaitnya.

Selain menganyam yang merupakan keahlian dan kebiasaan hidup mereka sehari-hari, nampaknya tidak ada bentuk kerajinan lainnya. Kesenian yang biasa mereka nikmati Ungkapan adalah dikir (yang sebetulnya adalah upacara pengobatan secara ungkapan kesenian dalam bentuk nyanyian atau puisi tidak dikenal.

Tetapi dongeng-dongeng yang bersifat fabel masih (sering diceritakan kepada anak-anak mereka). Terutama dongeng mengenai si kancil, dongeng ini mempunyai makna simbolik bagi identitas diri mereka yang terbelakang, hanya dengan kecerdikan sajalah mereka dapat mengatasi segala kesulitan hidup.

Dalam kehidupan Masyarakat suku Akit setiap keluarga harus mempunyai sebidang ladang. Karena hanya dan hasil ladang itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan mereka sehari-hari. Juga, lahan di ladang itulah mereka hidup, yaitu membangun rumah, membentuk keluarga, merasa aman dan menemukan jati diri mereka. Mereka dibesarkan di ladang dan membesarkan anak-anak mereka.

Sistem kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah dapat dinikahkan bila usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap sesudah nikah menentukan bahwa seorang istri mengikuti suaminya di kediaman baru atau di sekitar kediaman kerabat suaminya. Upacara pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa daging babi dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.

Sebelum perkawinan dilangsungkan pihak keluarga laki-laki datang kepada keluarga calon pengantin perempuan dengan membawa tepak sirih, yang lengakp berisi pinang, kapur, gambir, tembakau dan sirih. Bila pinangan telah di terima oleh pihak keluarga perempuan, maka sebagai tali pengikat, di berikan sebentuk cincin emas sebanyak 1 Ci atau 3,75 gram.

Kemudian baru di susul mengantar uang belanja kepada pihak keluarga perempuan yang jumlahnya tergantung dari kemampuan dan persetujuan kedua belah pihak. Pada waktu penyerahan dihadiri oleh ahli waris calon pengantin perempuan yang jumlahnya tergantung pada kemampuan dan persetujuan dua belah pihak.

Pada penyerahannya dihadiri oleh ahli waris calon pengantin perempuan dan ketua suku. Pada hari itu, ditentukan waktu yang tepat untuk melangsungkan pesta perkawinan.

Ketika pada sampai hari yang ditentukan, pihak pengantin perempuan menunggu kedatangan pengantin laki-laki yang diarak dengan rebana. Sampai di halaman rumah pengantin lelaki disembah oleh pengantin perempuan, selanjutnya mereka berdua dengan disaksikan oleh kaum kerabat, menghadap ketua suku.

Cara perkawinannya, pertama dibacakan janji atau taklik, kemudian pengantin lelaki bersalaman dengan ketua suku (bathin) sambil membacakan akad nikah yang berbunyi: Si A dikau hari ini kuresmikan nikah mu dengan beberapa saksi dan wali. Ya Tuhan kami, selamatkanlah anak kami ini dan lindungilah dia. Ucapan ini dilakukan tiga kali berturut-turut.

Menurt kebiasaan yang berlaku, suku akit di benarkan untuk memiliki istri 4 dan dibenarkan untuk bercerai. Suku akit, disamping dipimpin oleh kepala kampung pada tiap-tiap kepenghuluan, terdapat juga kepala suku yang di sebut dengan bathin, dibantu oleh pemuka-pemuka suku. Menurut catatan sejarah, suku akit pernah dipimpin oleh 6 bathin, masing-masing ialah Batin Boja, Batin Betir Pas, Batin Keding, Batin Sisik, Batin Monong dan Batin Gelimbing, yang berkuasa pada saat ini.

Bersunat telah merupakan keharusan menurut kepercayaan yang di terima dari nenek moyangnya. Biasannya berlaku bagi anak lelaki yang berumur 7 sampai 12 tahun. Penyunatan dilakukan oleh kepala suku atau bathin dengan mempergunakn pisau.

Anak yag akan menjalankan sunat duduk diatas batang pisang yang baru di tebang. Penyunatan di lakukan pagi hari. Sebelum diadakan kenduri dengan menyediakan nasi ketan kuning dan rebus telur.Seperti disebutkan diatas bahwa segala hasil penangkapan, ternak babi, hasil tebang kayu teki dan lain-lain, dijual kepada cina.

Oleh sesbab itu, suku akit sangat erat berhubungan dengan cina dan seperti keluarga sendiri. Maka tidak jarang terjadi perkawinan campuran antar suku akit dengan cina.

Hal ini dapat dilihat pula, bahwa menurut kepercayaan mereka, ada roh nenek moyangnya yang bernama “Timbang” dan istrinya yang bernama “Bahul”. Kedua suami istri ini berada di kayangan. Oleh sebab itu, oleh suku akit sengaja dibangun tempat menyembah kedua suami istri roh nenek moyannya tersebut, di Sungai Raja Selat Morong.

Sekali dalam setahun di adakannya upacara penyembahan yang diikuti oleh seluruh suku akit dengan disertai kenduri, guna meminta kepada Timbang dan Bahul, untuk keselamatan peduduk, medatangkan rezeki yang berlimpah ruah dan untuk meghapuskan dosa. Adakalanya untuk meminta jimat-jimat penjaga diri agar terhidar dari berbagai macam penyakit.
Cara sembahyang suku akit untuk menyembah Timbang dan Bahul mirip sembahyang tompekong bagi bangsa cina.
Bila seorang meninggal, jenazahnya di tutup dengan di atas pusarnya ditindih dengan besi kecil. Di atas kepala di beri pelita dan dulang tempat mengumpulkan uang sumbangan.

Setelah seluruh ahli waris dan keluarga berkumpul, baru jenazah di mandikan, dengan memangku jenazah yang terdekat sebanyak 7 orang kemudian di siram dengan air sabun dan terakhir dengan air bunga. Setelah selesai semua nya dibungkus dengan kain putih dan di ikat dengan lima ikatan, baru di masukkan kedalam keranda. Baru kemudian kepala suku membacakan “selamat” sebanyak 3 kali.

Baru di turunkan ke halaman dan di sembah oleh seluruh keluarga selanjutnya di pikul ke kuburan. Setelah di masukkan ke dalalm liang kubur. Seluruh ikatan di buka, terakhir di timbun tanah.

Untuk mendapatkan legitimasi dan pengakuan formal dari pemerintah terhadap Masyarakat Adat suku Akit sesuai dengan Undang-undang No. 41 Tahun 1999. Dasar Hukum Tentang Masyarakat Adat Suku Akit didasari oleh konstitusi dan dasar hukum yang kuat antara lain; Amandemen Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 B ayat (2) (Amandemen) Undang-undang Dasar 1945 pada Bab VI yang mengatur tentang Pemerintah Daerah menegaskan,” Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.

Amandemen Undang-undang Dasar 1945 Bab X A mengatur tentang Hak Azasi manusia pada pasal 28-1 Ayat (3),” Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban merupakan hak azasi manusia yang harus dilindungi oleh negara.

Konvensi ILO (International Labor Organisation) Nomor 169 Tahun 1989 mengenai Masyarakat Hukum Adat dan penduduk pribumi asli dinegara-neraga merdeka.

Konvensi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) tentang keanekaragaman hayati (Convention on Biologic Diversity) (1992) yang sudah diratifikasi (disyahkan) oleh Pemerintah Indonesia menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 1994, khususnya pasal 8 (j) yang menekankan pada perlindungan terhadap kearifan adat dalam pelestarian sumber daya dan keanakaragaman hayati dan hak kepemilikan intelektual masyarakat hukum adat.
Hal terpenting lainnya yang mendesak adalah pemerintah harus memberikan jaminan pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat adat suku Akit atas hak-hak mereka seperti Hak sumber daya alam, wilayah adat, politik, sistem nilai, adat istiadat, ekonomi dan lainnya. Hak-hak di atas selama ini secara represif telah diabaikan oleh pemerintah sehingga proses percepatan kemandirian masyarakat adat suku Akit itu tidak terjadi.

Data aktual sampai akhir tahun 2014 tentang masyrakat adat suku Akit menyatakan bahwa tidak seorangpun anak suku Akit yang diterima pemerintah daerah khususnya Pemkab Meranti sebagai pegawai negeri (PNS). Kemudian pada data yang sama belum juga tercatat seoarangpun anak suku Akit yang tamat Strata 1 apalagi Strata 2 dan Strata 3.

Belum lagi jika dilihat dari tingkat ekonomi masyarakat yang hampir 78 persen masyarakat adat suku Akit hidup dibawah garis kemiskinan.(Mpos)

Komentar ditutup.